Senin, 25/11/2024 18:23 WIB

Anggota DPR NIlai Presiden Blunder Soal Pendapatan Ekspor Nikel

Harusnya menteri terkait membekali data-data yang akurat kepada Presiden Jokowi. Sehingga apa yang disampaikan Presiden tepat dan akurat. Apalagi terkait jawaban Presiden terhadap kritik dari seorang ekonom senior. Inikan kritikan ilmiah dari ekonom yang sarat data. Jadi jawabannya harus matang. Menurut saya, Presiden blunder.

Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto. Foto: Azka/Man

Jakarta, Jurnas.com - Bantahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) terhadap pernyataan Pengamat Ekonomi Faisal Basri yang mengatakan hilirisasi nikel hanya menguntungkan China dirasa blunder.

Anggota Komisi VII DPR RI, Mulyantomengatakan seharusnya dalam menanggapi pernyataan itu Presiden bicara berdasarkan data. Karena data mengenai devisa dan pendapatan negara dari hilirisasi nikel ini tersedia pada kementerian terkait.

"Harusnya menteri terkait membekali data-data yang akurat kepada Presiden Jokowi. Sehingga apa yang disampaikan Presiden tepat dan akurat. Apalagi terkait jawaban Presiden terhadap kritik dari seorang ekonom senior. Inikan kritikan ilmiah dari ekonom yang sarat data. Jadi jawabannya harus matang. Menurut saya, Presiden blunder," kata Mulyanto kepada wartawan, Senin (14/8).

Wakil Ketua Fraksi PKS ini prihatin berdasarkan jawaban yang disampaikan ternyata presiden tidak dapat membedakan antara pendapatan devisa dari ekspor nikel yang sebesar Rp. 510 triliun dengan penerimaan negara dari komoditas nikel.

"Ini kan dua hal yang berbeda. Devisa masuk kepada investor, sementara penerimaan negara masuk dari pajak baik pph badan, ppn maupun bea ekspor, dll," jelas Mulyanto.

Legislator Dapil Banten III ini menilai, data yang disampaikan Faisal Basri lebih masuk akal dibandingkan dengan pernyataan Jokowi. Sebab industri smelter menikmati tax holiday dan bebas bea ekspor.  Sehingga kecil nilai penerimaan negara dari pajak sektor ini.

"Selain itu juga soal penerimaan negara bukan pajak (PNBP), Presiden menjelaskan, bahwa industri smelter membayar PNBP.  Padahal sama sekali tidak. Negara mendapat PNBP dari pertambangan nikel, bukan dari industri smelter. Sehingga tidak ada kontribusi PNBP dari industri smelter," ujarnya.

Di sisi lain, lanjut Mulyanto, saat dibolehkannya ekspor bijih nikel, Pemerintah malah memungut bea ekspor, sehingga sebelumnya ada penerimaan negara dari bea ekspor bijih nikel.

"Soal-soal ini yang harusnya disiapkan dan dijelaskan kepada publik oleh Menteri terkait.  Bukan membiarkan Presiden menjawab awak media tanpa data yang cukup. Saya sendiri tidak yakin, dalam skema yang ada sekarang ini, negara benar-benar diuntungkan dari program hilirisasi nikel.  Apalagi kalau yang diekspor adalah NPI dan Fero Nikel, produk nikel setengah jadi dengan nilai tambah rendah. Padahal cadangan nikel kita, sebagai SDA strategis dan kritis, menurut para ahli tinggal 7 tahun lagi.  Ini kan harusnya dieman-eman," tegasnya.

Untuk diketahui Presiden Jokowi di Stasiun Dukuh Atas, Kamis (10/8) merespons tudingan ekonom senior UI Faisal Basri soal hilirisasi nikel yang dilakukan pemerintah Indonesia selama ini justru menguntungkan China.

Menurut Jokowi tuduhan itu tidak benar dan mempertanyakan metode yang digunakan Faisal Basri dalam menyatakan China dan negara lain diuntungkan dari kebijakan hilirisasi itu.

 

KEYWORD :




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :